Jumat, 02 April 2010

Peran Human Capital yang Tertatih-tatih


Highleap Consulting
Cerita yang sudah menjadi klasik dan sering ditampilkan banyak orang lantaran terlalu menarik adalah kisah tentang Kaisar Hirohito dan bom atom. Syahdan Nagasaki dan Hiroshima luluh lantah diterjang bom atom. Tentara Jepang yang sangat kuat dalam sekejap menyerah.
Kedua kota yang porak-poranda tersebut ternyata menyeret negeri Jepang terseok-seok ke jurang kebangkrutan. Di tengah keterpurukan negara dan ketidak-berdayaan rakyat, Kaisar Hirohito mengumpulkan para cerdik pandai yang tersisa. Kaisar Hirohito membuka pertemuan dengan pertanyaan sederhana namun amat kuat,”Berapa jumlah guru yang masih hidup?” 
Sebagai pemimpin, Kaisar Hirohito berpikiran jauh ke depan. Sang Kaisar ditengah keterpurukan negerinya tidak membicarakan modal, sumber daya alam, pabrik, atau kapital-kapital lainnya. Sang Kaisar mempersoalkan manusia. Lebih khusus lagi manusia pendidik bergelar guru. Strategi Kaisar memang luar biasa. Dengan guru yang tersisa, Jepang mendidik manusianya untuk kemudian hari menjadi manusia pemenang.
Setali tiga uang dengan kondisi Jepang adalah peristiwa krisis ekonomi tempo hari. Alkisah negeri indah Indonesia diterjang krisis ekonomi maha hebat. Tujuh puluh lima persen perusahaan di Indonesia dapat dikatakan tiarap, alias merugi. Mirip dengan Kaisar Hirohito walaupun dengan konteks yang agak lain, para pengelola perusahaan di negeri tercinta tiba-tiba begitu peduli dengan manusia pekerjanya. Dengan tekad membaja, para pengelola perusahaan mulai berkampanye tentang arti pentingnya karyawan bagi keseluruhan proses bisnis. Alhasil para pengelola perusahaan berlomba-lomba berteriak akan mencerdaskan manusia pekerjanya. 
Hanya disinilah letak perbedaan mencolok antara Kaisar Hirohito dengan mayoritas pengelola perusahaan di negeri ini. Kalau Kaisar Hirohito berjuang mati-matian mencerdaskan rakyatnya, mayoritas pengelola perusahaan negeri ini sebatas retorika. Manusia pekerja tetap tak berubah perannya: salah satu alat produksi. Hanya sedikit dari pengelola perusahaan negeri ini menjadikan manusia pekerja sebagai mitra strategis perusahaan. 
Keadaan ini alhasil berpengaruh terhadap divisi pengelola manusia yang lazim disebut human resources (di era kekinian berubah menjadi human capital). Perubahan istilah dari human resources ke human capital ternyata tidak mengubah paradigma, hanya sebatas istilah. Human capital – sesuai namanya  menempatkan manusia pekerja sebagai salah satu kapital perusahaan – tetap tak beranjak dari kedudukan lamanya yaitu sumber produksi perusahaan. Akibatnya divisi human capital sekedar memainkan peran administrasi dan personalia yang tidak mencerdaskan. 
Untuk mengingatkan kembali, ada empat peran human capital pada era kekinian versi Dave Ulrich yang menjadi referensi utama mayoritas perusahaan di kolong langit ini. Peran pertama adalah ahli dalam proses administrasi (management of firm infrastructure). Peran kedua bermain pada wilayah kontribusi dan menjadi pemenang (management of the employee contribution). Peran ketiga menjadi agen perubahan dan transformasi organisasi (management of transformation and change). Peran terakhir, keempat sebagai mitra dalam penentuan strategi perusahaan (management of strategic human resources).  
Sesuai dengan keempat peran yang berbeda, maka kompetensi dari masing-masing peran tersebut juga berbeda. Peran pertama - management of firm infrastructure – dimana dititik beratkan pada proses administrasi dan fungsi-fungsi kepersonaliaan lainnya maka kompetensi yang diharapkan adalah proses pengembangan dan perbaikan, teknologi informasi serta pengetahuan tehnis.  
Pada peran kedua yang menempatkan diri sebagai pekerja pemenang yang ditunjukkan melalui kontribusi pada pekerjaannya, kompetensi yang perlu dimiliki yaitu performance management, manajemen pengembangan dan lingkungan kerja. 
Peran ketiga dimana human capital menjadi agen perubahan, maka kompetensi yang menjadi kewajiban adalah keahlian dalam manajemen perubahan, sebagai konsultan /fasilitator /coaching, dan kemampuan dalam analisis sistem. 
Peran keempat yang berbicara tentang strategik manajemen dengan fungsinya sebagai penyelaras (alignment), kompetensi yang harus dimiliki adalah pengetahuan bisnis, formulasi strategi human capital dan kemampuan mempengaruhi orang lain. 
Untuk menerapkan empat peran baru ini, berbagai perusahaan di negeri ini giat mempopulerkan kompetensi berbasis manajemen sumber daya manusia (competency based human resources management). Seminar digelar dimana-mana dan sesak dipenuhi para pengelola human capital. Pelatihan berhari-hari dengan mengundang para pakar human capital diikuti dengan penuh ketekunan. Ratusan makalah, ribuan artikel memenuhi media massa. Semua berbicara tentang peran baru human capital. Hasilnya? 
Inilah sebuah sandiwara tanpa babak yang kemudian terjadi. Segala aktivitas demikian nyaris seperti sandiwara diatas panggung. Menarik, memukau, menghanyutkan namun tetap sebuah cerita, bukan kenyataan. Peran human capital tetap bermain pada wilayah keadministrasian, kepersonaliaan. Meningkat sedikit ke arah kontribusi, manajemen pengembangan dan performance management. Meminjam istilah Dave Ulrich, peran human capital di negeri ini masih pada dataran operasional harian (day to day  operational). Sementara peran masa depan dan strategic focus masih jauh dari harapan. 
Peran masa depan dan strategic focus bermain pada wilayah agen perubahan dan transformasi organisasi serta mitra strategis perusahaan. Bagaimana mau menjadi agen perubahan dan pelaku transformasi organisasi jika peran human capital sendiri belum berubah dan justru perlu melakukan proses transformasi? Bagaimana pula mau menjadi mitra strategis perusahaan jika posisi human capital bukan merupakan posisi strategis yang ikut menentukan masa depan perusahaan? 
Tertatih-tatihnya peran human capital bukan sekedar salahnya divisi ini. Disamping harus diakui belum banyak pakar yang piawai dalam menangani human capital (akibatnya permintaan tentang pakar human capital di bursa tenaga kerja sangat tinggi), juga karena niat dan dukungan  CEO terhadap human capital masih setengah-setengah. CEO pada banyak perusahaan mirip dengan para penguasa politik dan pengatur negara yang berpikiran jangka pendek. Pekerja ditempatkan pada faktor biaya, bukan asset. (Maka yang terjadi hampir semua perusahaan, gaji, pengembangan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan manusia pekerja dalam laporan keuangan masuk dalam pos biaya). 
Mengoptimalkan peran human capital pada kondisi dimana tingkat persaingan sangat ketat dan perubahan sangat dahsyat, sudah tidak dapat ditolak lagi. Human capital harus bermain pada wilayah yang lebih cerdas dan menantang, yaitu mitra strategi perusahaan, pengawal perubahan dan pelaku transformasi organisasi. Tanpa peran cerdas ini siap-siaplah organisasi perusahaan tiarap lantaran tidak mampu bersaing karena manusia pekerjanya tidak berkompeten. 
Akhirnya, selamat bermimpi tentang peran baru human capital di sebuah negeri indah bernama Indonesia. 

Sumber :
http://sekar.or.id/xampp/index.php?option=com_content&task=view&id=479&Itemid=53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar