Oleh: Wiwin Suwandi (Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas)
Dalam teori antropologi budaya, manusia pada dasarnya adalah "hewan yang berakal". Karena manusia adalah "hewan", maka manusia memiliki sifat buas yang suka menjegal dan memangsa satu sama lain.
Kondisi ini berlangsung sejak zaman purba dengan corak primitifnya, hingga saat ini dalam zaman modern namun dengan karakter yang berbeda. Untuk membatasi sifat "buas" itu, maka manusia secara sadar membuat aturan (hukum) yang membatasi perilakunya agar tidak menyimpang dari batas-batas yang dianjurkan. Di sinilah era positivistik hukum itu mulai ada.
Ketika mendiskusikan praktik anarkis, baik dalam perhelatan Pilkada, Pemilu maupun dalam kasus-kasus lain, maka yang menjadi pertanyaan besar adalah seberapa mapankah human capital (HC) kita?
Kemudian setelah pertanyaan itu mampu dijawab, maka pertanyaan lainnya akan muncul, seberapa tinggikah social capital (SC) kita? Dan bagaimana pengaruh human capital dan social capital dalam mendorong sifat dan perilaku manusia ke arah positif.
Human capital dan social capital adalah aspek penting yang harus dimiliki oleh sebuah negara untuk bisa maju. Human capital menyoroti perilaku positif yang tecermin dalam sikap dan pribadi manusia (warga negara) yang jauh dari kesan "sangar" dan "buas", tetapi lebih produktif dan solutif. Manusia yang memiliki modal untuk bisa memajukan dirinya dan masyarakatnya menghadapai kompetisi sehat.
Juergen Habermas, seorang tokoh sosiolog kontemporer meyakini bahwa kemajuan suatu komunitas masyarakat ditentukan oleh seberapa besar human capital dan social capital yang dimiliki. Dalam masyarakat terpetak beberapa kelas-kelas sosial. Dan kelas yang memiliki andil penting dalam mendorong terciptanya human capital dan social capital itu menurut Habermas adalah kelas elite.
Kelas elite, dengan kemapanan dan kemampuannya dalam mengendalikan massa akan mampu mendorong terciptanya human capital dan social capital. Tetapi dengan catatan, bahwa human capital dari para elite juga yang terlebih dahulu dimiliki.
Pilkada Anarkis; Akankah Berulang?
Tidak lama lagi, masyarakat pada 11 kabupaten di Sulsel akan melaksanakan hajatan lima tahunan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati. Di sinilah kemudian ujian terhadap idealisme demokrasi itu dipertaruhkan.
Apakah hanya melanggengkan ritual anarkis dalam setiap perhelatan Pilkada, atau mampu menciptakan suasana yang kondusif dengan saling pengertian antar "pemain".
Sama halnya dengan Pemilu, Pilkada merupakan sarana perwujudan aspirasi rakyat dalam proses politik. Dalam pilkada maupun Pemilu, rakyat bisa ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau daerah, termasuk nasib mereka di kemudian hari.
Hal ini menggambarkan bahwa, siapapun yang kelak terpilih, apapun keputusan yang dihasilkan setelah pemenang ditentukan, tetap saja rakyat sebagai objek yang harus diperhatikan nasibnya. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu maupun pilkada.
Namun terkadang Pilkada juga menuliskan cerita memilukan dari praktik anarkis yang sering terjadi dan berulang. Karena Pilkada juga adalah ruang pertarungan, pertarungan elite yang sering menjegal untuk mengejar ambisinya menduduki tahta kekuasaan, maka fenomena anarkis antar-massa pendukung calon sering terjadi.
Oleh karena benturan kepentingan antar-elite, rakyat menjadi terpetak-petak dalam beberapa kubu dukungan, hingga kemudian menjadi konflik. Akibatnya cita-cita murni demokrasi dalam hajatan Pilkada tersebut menjadi hilang.
Ironisnya, kondisi memilukan ini hampir terjadi pada tiap kali hajatan Pilkada dilangsungkan. Walaupun regulasi untuk mengatur Pilkada tersebut sudah ada, ditambah adanya lembaga-lembaga yang bertugas melaksanakan maupun mengawasi Pilkada agar berjalan dengan tertib, namun praktik anarkis itu tetap terjadi. Maka yang menjadi kunci dalam menciptakan Pilkada damai adalah sikap toleransi antar-pemain untuk sebisa mungkin menghindari konflik yang akan muncul.
Untuk mencegah hal itu sering terjadi, maka negara sebagai organisasi publik yang memiliki kekuasaan dalam bidang keamanan, menyiapkan instrumen agar pelaksanaan Pilkada tersebut berjalan dengan tertib.
Karena rasa aman merupakan hak setiap orang, maka hukumpun dibuat untuk menciptakan rasa aman itu. Rasa aman yang bisa dinikmati oleh semua golongan masyarakat yang akan menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada.
Dengan adanya instrumen hukum tersebut, negara mengharapkan agar pelaksanaan Pilkada (maupun Pemilu) dapat berjalan dengan tertib, tidak anarkis. Agar pelaksanaan Pilkada berjalan tertib dan tidak anarkis, maka hukumpun dibuat disertai sanksi tegas terhadap pelaku pelanggaran. Sanksi ini beragam mulai denda sampai pada pidana penjara. Namun apapun bentuk hukumannya, sanksi tersebut sejatinya adalah upaya pembinaan, agar praktik anarkis itu tidak terjadi lagi.
Hukum: Mendorong HC dan SC
Dalam teori sosiologi hukum, human capital adalah kunci utama menuju terciptanya social capital. Jika human capitalnya rusak, bobrok, maka tidak ada harapan untuk membangun social capital. Karena human capital adalah modal utama menuju pembentukan social capital.
Pada dasarnya, hukum bukanlah sarana yang semata dibuat untuk menindak perilaku menyimpang manusia. Namun lebih prinsipil, hukum adalah sarana bagaimana membuat perilaku manusia itu dapat lebih tertib dan manusiawi.
Hukum bukan sekadar aturan yang menuliskan secara tegas deretan sanksi yang akan dijatuhkan jika manusia bertindak di luar batas, namun hukum lebih menekankan pembinaan mental dalam visi "memanusiakan manusia". Hukum adalah instrumen bagaimana perilaku manusia tertata dengan baik (Satjipto Rahardjo: 2006)
Menurut Satjipto, hukum tidak saja deretan pasal atau undang-undang yang dipahami secara teoritik-normatif. Menurutnya, hukum juga adalah bersumber dari perilaku kita, manusianya yang sering (baik sengaja maupun tidak) melanggar hukum. Senada dengan Satjipto, Van Doorn, seorang sosiolog hukum Belanda mengutarakan bahwa hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia.
Tetapi manusianya itu sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukan baginya. Ini karena disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi dan lain yang mempengaruhi dan membentuk perilakunya. Perilaku menyimpang dari manusia inilah yang menyebabkan idealisme hukum menjadi terpinggirkan.
Dalam suasana menjelang Pilkada yang akan berlangsung, penting sekali modal human capital dan social capital ini dimiliki oleh setiap petarung. Baik petarung dari kalangan elite maupun dari kalangan awam yang kesadaran politiknya masih ’hijau". Jika modal HC dan SC ini tidak dimiliki, maka praktik anarkis dalam setiap perhelatan Pilkada akan terus terjadi. (**)
Sumber :
http://metronews.fajar.co.id/read/83266/19/human-capital-dan-social-capital-dalam-pilkada
23 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar