Oleh : Sugeng Purwanto, Dekan Paramadina Graduate School of Business
Jika Anda diberi pilihan bekerja di spiritual company atau bukan, manakah yang dipilih?.atau jika Anda memiliki dan memimpin perusahaan apakah Anda memilih menerapkan spiritual leadership atau tidak?
Buku-buku teks manajemen mengatakan tujuan berbisnis adalah untuk memaksimumkan shareholders value yang berkesinambungan, karena inilah ukuran dari keberhasilan bisnisnya. Namun, kini yang disebut value bukan hanya financial value atau commercial value semata; ada nilai-nilai yang jauh lebih mendasar yaitu nilai keluhuran yang merupakan legacy value.
Warren Bennis (1994) mengatakan: Seorang leader mampu mencetak leaders berikutnya untuk menjamin kelangsungan legacy nya.
Pada era industrialisasi untuk menciptakan keunggulan bersaing cukup dengan berpatokan pada keunggulan manajemen melalui pengetahuan dan keterampilan. Era informasi menekankan akses dan kecepatan. Memasuki abad ke-21 dirasakan baik keunggulan pengetahuan maupun informasi tidak cukup untuk kelanggengan hidup perusahaan; diperlukan wisdom. Muncullah model kepemimpinan baru spiritual leadership.
Paradigma dan model kepemimpinan bisnis tentu saja tidak muncul demikian saja tetapi seiring dengan munculnya dan kebutuhan yang muncul sumber kekuatan kepemimpinan itu sendiri. Setiap upaya, proses, dan hasil dilandasi dengan sumber dayanya masing-masing.
Profesor John Zhuang Yang (2007) menjelaskan perkembangan di China melalui proses transformasi ekonomi, kultural, dan sosial. Keberhasilan reformasi ekonomi China telah menghasilkan pembangunan kekayaan dan “material capital” meliputi kekayaan materi, reputasi, dan sumber daya aset.
Sumber daya manusia (human capital) juga berkembang seiring dengan perkembangan material capital melalui proses penempaan SDM untuk mengimbangi material capital. Hal ini seperti dikatakan Gary Becker (1993) bahwa peningkatan kualitas human capital dapat diperoleh melalui investasi pendidikan formal sekolah, training, dan perawatan kesehatan.
Namun, social capital tidak berkembang baik di China. Fukuyama (1995) mengatakan perbedaan yang mendasar antara pembentukan human capital dan social capital adalah human capital lebih mudah dikembangkan.
Tidak demikian dengan social capital yang menentukan tingkat trust antarmanusia yang lebih berhubungan dengan kultur, warisan sejarah, kebiasaan sosial, latar belakang agama, dan tradisi.
Dengan meminjam istilah dalam ilmu pasti – vektor – yaitu adalah besaran yang mempunyai arah. Material capital, human capital, dan social capital tidak berkembang dengan besaran dan arah yang sama; terjadi ketimpangan.
Bagaimana mengintegrasikan material capital, human capital, dan social capital? Di sinilah munculnya konsep spiritual capital. Social capital sulit berkembang jika berangkat dari latar belakang ras, suku, golongan, dan kepercayaan agama yang berbeda-beda, maka tidak demikian dengan spiritual capital yang menerima, mengakui pebedaan tetapi tidak mempermasalahkannya.
Spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti memberikan hidup atau vitalitas kepada sistem. Spiritual capital menambah dimensi peranan makna dan nilai dari tujuan yang mendasar makna dari kehidupan manusia (Zohar Marshall, ….).
Jadi jelas bahwa spiritual leadership bukanlah kepemimpinan bisnis berbasis agama. Spritual leadership mengintegrasikan kebutuhan spiritual manusia dengan tiga kebutuhan lainnya, yaitu fisik (material), mental (human capital), dan sosial.
Keempat kebutuhan tersebut ditransformasikan ke dalam organisasi perusahaan mewujudkan kapasitas, kemampuan dan kemauan untuk melakukan kontribusi warisan (legacy).
Dengan demikian, spiritual leadership tetap mementingkan kinerja bisnis dan keuangan perusahaan, kualitas SDM dan inovasinya, serta kepentingan stakeholders. Masih ditambahkan “spiritus” yang merangkum semuanya itu ke dalam tujuan makna hidup sesungguhnya menjadi seorang manusia.
Manifestasi spriritual leadership
Tichy & Bennis (2007) dalam bukunya Judgment How Winning Leaders Make Great Call mengelaborasi bagaimana pemilihan hasil dari keputusan penting bisa membalikkan arah kinerja perusahaan.
Ada tiga domain manusia, strategi, dan waktu yang kritis. Kemudian ada konstituen, pengetahuan, kekuatan SDM, fasilitas transformasi kekuatan kepada seluruh jajaran organisasi. Terakhir pemahaman konteks dan kemampuan melihat pemasalahan dari skala yang jauh lebih luas dan jauh ke depan. Dengan demikian, kualitas sebuah keputusan tidak dapat dilepaskan dari kekuatan wisdom yang dimiliki oleh seorang pemimpin.
Saya mengamati berbagai organisasi. Ada kebiasaan-kebiasan yang diterapkan terasa menyejukkan. Kebiasaan berdoa menurut agamanya masing-masing sebelum memulai rapat, kegiatan, dan acara.
Ada makna yang terkandung di dalamnya bahwa melakukan bisnis adalah bagian dari tujuan yang lebih besar menjadi manusia spiritual seutuhnya bukan hanya jasmani dan mental saja. Implikasinya adalah rasa kebersamaan melalui pengakuan, penerimaan, dan penghormatan atas berbagai latar belakang yang berbeda.
Tolok ukur spiritual leadership
Keberhasilan spiritual leadership sudah jelas tidak cukup hanya disiplin penerapan ritualnya saja tetapi juga perlu dilihat dari parameter yang bersifat melekat pada manusianya.
Apakah para direksi, eksekutif, staf dan seluruh karyawan secara mayoritas menyukai dan menikmati pekerjaan dan lingkungannya. Apakah mereka merasa aman dan nyaman bekerja dan menjalani hidupnya.
Tugas seorang spiritual leader adalah memastikan proses penghidupkan “spirit” dalam organisasinya menjadi milik bersama, dirasakan, dan saling dibagikan oleh seluruh dan kepada anggota organisasi bisnis.
Jadi semestinya bekerja pada spiritual company atau menerapkan spiritual leadership dalam memimpin perusahaan akan mendatangkan suasana bekerja nyaman, aman, percaya, dan menyenangkan ada suasana gairah berprestasi di seluruh tingkatan organisasi.
Pendidikan tinggi sudah terlalu lama berkutat dengan knowledge, meskipun belakangan mulai merambah kepada skill melalui adaptasi kurikulum dan program pelatihan untuk berperan dalam pengembangan material capital dan human capital. Namun, model spiritual capital untuk menyelaraskan material capital, human capital, dan social capital belum banyak disentuh.
Business spiritual leaders mengembangkan spiritual capital sendirian, jumlahnya sedikit, dan tidak didukung oleh program pendidikan tinggi yang menekankan atau memberikan pencerahan mengenai pentingnya spiritual capital.
Tidak heran jika kita melihat pengelolaan perusahaan yang tidak etis dan terjadi penyelewengan di sana sini.
Sugeng Purwanto
Dekan Paramadina Graduate School of Business
Sumber :
Bisnis Indonesia, dalam :
http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cyberjob/detail.aspx?x=Love+Your+Work&y=cyberjob%7C0%7C0%7C2%7C613
14 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar